Instagram

Review Esai I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki [죽고 싶지만 떡볶이는 먹고 싶어] Karya Baek Se Hee


Penulis: Baek Se Hee
Tebal: 236 halaman
Terbit: 2018 (Korea)
           Maret 2020 (cetakan keenam, Indonesia)
Penerbit: Penerbit Haru
Harga: Rp99.000
Label: K-Iyagi
***
Aku: Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standar dan biasa saja?

Psikiater: Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki?

Aku: Iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri.

I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki adalah esai yang berisi tentang pertanyaan, penilaian, saran, nasihat, dan evaluasi diri yang bertujuan agar pembaca bisa menerima dan mencintai dirinya.

Buku self improvement ini mendapatkan sambutan baik karena pembaca merasakan hal yang sama dengan kisah Baek Se Hee sehingga buku ini mendapatkan predikat bestseller di Korea Selatan.
***
I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki adalah esai yang dibuat oleh Baek Se Hee, penulis yang ternyata juga mengidap distimia (depresi berkepanjangan) dan gangguan kecemasan. Isi buku ini memperlihatkan hasil pertemuan Baek Se Hee dengan psikiaternya sekaligus pemikiran ulang penulis seusai menyelesaikan sesi terapinya.

CERITAKU

Aku sering melihat buku ini di TB Gramedia, terutama di jejeran buku bestseller menjelang akhir tahun lalu. Aku penasaran, apalagi dengan judulnya yang sangat unik. Menjelang awal 2020, akhirnya aku mengetahui bahwa buku ini membahas kesehatan mental sehingga kumasukkan dalam daftar keinginan. Saat aku menjalani Ujian Sekolah tahun ini, akhirnya aku membelinya karena ada potongan harga di Shopee dan menyelesaikannya dalam waktu 2 minggu.

PANDANGANKU

Aku mulai membaca ini di pertengahan Maret 2020 dan menyelesaikannya pada akhir bulan tersebut. Akhirnya aku mengerti mengapa buku ini menjadi bestseller baik di Korea Selatan maupun Indonesia. Kedua negara ini masih memerlukan banyak pemikiran mengenai kesehatan mental sekaligus cara untuk mencintai diri sendiri. 

Awalnya kukira ini hanyalah buku fiksi dengan judul yang keren agar bisa menarik pembaca, tetapi aku salah. Buku ini mengajarkan banyak hal dalam hasil pembicaraan antarpenulis serta psikiaternya. Menjelang akhir buku, aku baru sadar bahwa aku sudah menandai banyak hal dari buku ini, tanda bahwa mereka pernah kualami dan menimbulkan rasa familiar ketika membacanya kembali, 

Kaver yang sangat cerah dan lumayan membuat penasaran ini tentunya tak bisa menjelaskan banyak mengenai isinya. Kau harus membaca lebih agar mengerti bahwa buku ini bukanlah buku biasa. Halaman utama setiap sesi dengan warna pink yang mendominasi tentu menambah warna pada buku ini, Tak lupa juga ada bagian yang menjadi poin penting sehingga diberi highlight warna pink dan juga font yang berbeda pada bagian tersebut.

Membaca buku ini memerlukan waktu yang lumayan lama, kasusku membutuhkan waktu 2 minggu. Aku mencoba untuk membaca isi dari 1 sesi untuk sehari agar aku lebih bisa memaknai dan tidak hanya asal membaca cepat. Buku ini menyadarkanku akan banyak hal dan sangat pantas untuk menjelaskan makna mencintai diri sendiri.

Sang penerjemah pun memilih diksi yang baik sehingga aku merasa nyaman membaca buku ini. Tak terlalu kaku dalam menerjemahkannya, melainkan dengan bahasa yang sopan, tetapi dapat membuatku merasa bahwa aku tak membaca sesuatu yang terlalu serius sehingga mampu membuat kepala pening.

Secara keseluruhan, buku ini sangat baik dan cocok untuk generasi muda Indonesia yang sedang mencari tahu mengenai kesehatan mental.

Rating (out of 5): 🌸🌸🌸🌸🌸

Comments

Post a Comment

Popular Posts