Instagram

Film Review [Milea: Suara Dari Dilan]


Dilan (Iqbaal Ramadhan) akhirnya bertemu dengan Milea (Vanesha Prescilla), siswi pindahan dari Jakarta. Dilan dengan segala keromantisannya mencoba mendekatkan diri dengan Milea dan terkadang kewalahan dengan posisinya sebagai panglima tempur geng motor di Bandung pada awal tahun 90-an. Kisah cinta remaja mereka yang sangat fenomenal akhirnya akan dibahas melalui mata, pikiran, dan hati Dilan.  (Trailer Youtube)

CERITAKU

Perfilman Indonesia kembali disambut dengan sequel dari kisah cinta dua remaja SMA di Bandung pada tahun 1990-1991, Milea: Suara Dari Dilan. Film yang disutradarai Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini rilis pada 13 Februari 2020. Dengan durasi 103 menit, film ini berhasil meraup 404.000 penonton pada hari pertama. 

Diadaptasi dari novel berjudul sama yang juga ditulis oleh Pidi Baiq, film ini berhasil aku tonton di hari kedua penanyangan dan aku bersyukur bisa kembali mendapatkan bangku saat membelinya On the Spot dan lokasi tempat duduk yang cukup strategis.

PANDANGANKU

Filmografi yang tidak perlu diragukan, khas Fajar Bustomi memiliki warna sendiri dan tetap konsisten dengan tone yang mereka perlihatkan dengan sebelumnya. Walaupun lahir di tahun 2002, melalui film ini aku setidaknya mendapatkan gambaran Bandung pada tahun 1990-an dengan keasrian dan kerindangan yang ditawarkan. Menontonnya membawaku kembali ke masa lalu dan mengerti keadaan sosial yang dialami oleh rakyat Indonesia umumnya pada saat itu.

Dilan yang menaiki sepeda motornya memang menjadi hal yang khas, tetapi setelah menonton film ini rasanya adegan Dilan menaiki motor menjadi monoton karena terlalu sering digunakan dengan angle yang sama walau sebenarnya di saat seperti itulah Dilan menunjukkan perasaan terdalamnya.

Karakter yang dibawakan oleh para pemain pun tak berbeda dan karena ini merupakan karya ketiga mereka kembali bekerja sama, chemistry yang dapat dirasakan pun terasa lebih nyata dan tak hanya sekadar tempelan. Jenaka yang ditampilkan oleh Dilan pun terasa kental dalam karya ini. Yang mungkin membuatku mengernyitkan dahi mungkin bagaimana tampilan fisik mereka tak berubah walau beberapa tahun telah berlalu, seakan-akan mereka disihir untuk tetap seperti itu. Bisa saja ini dilakukan agar penonton tidak kaget dengan perubahan tiba-tiba. 
Menonton film ini membawa kembali nostalgia saat aku menonton kedua film pendahulunya, Dilan 1990 dan Dilan 1991. Dalam film ini, penonton diajak untuk mengenang kembali kisah mereka dengan perspektif dari Dilan, berbeda dari dua karya sebelumnya di mana kita disuguhkan dengan pandangan Milea akan kisah cinta mereka. Film ini berhasil membuat penonton yang merasa kebingungan dengan banyaknya hal yang terasa terlewatkan akhirnya dapat dibahas dari mata Dilan. Selesai menonton film ini, ada rasa kelegaan dapat mengetahui kisah cinta mereka yang penuh kesalahpahaman. 

Akan tetapi, sejujurnya saat menonton film ini ada hal-hal yang terasa kulupakan dari film sebelumnya, Dilan 1991 dan untungnya aku diingatkan kembali akan kronologi kisah mereka dalam film ini yang memberikan rangkuman kisah mereka dan bagaimana semua hal ini terjadi karena kesalahpahaman dan ego yang dimiliki masing-masing. Ada hal-hal yang akhirnya diperdalam dengan pandangan Dilan dalam kesinkronisan kisah mereka dan berhasil membuat penonton di pihak netral dan dapat mengetahui kisah mereka dari dua sisi.

Secara alur, film ini berhasil menjelaskan plot hole yang dimiliki Dilan 1990 dan Dilan 1991 dan cocok untuk mereka yang ingin bernostalgia akan masa remaja penuh kisah cinta yang tak biasa.

Rating (out of 5): 🏍🏍🏍🏍


Comments

Popular Posts